SATU EPISODE KEHIDUPAN
Sang waktu berjalan perlahan-lahan.
Melewati lorong gelap gang Rambutan, tempat abang-abang ojeg mangkal. Sepanjang
lorong temaram diterangi lampu-lampu bohlam depan rumah. Lampu neon pun tak
dapat memamerkan terangnya. Mendung dini hari lebih berkuasa. Jalanan lenggang,
masih pulas belum disinggahi pelanggannya. Dari lubang ventilasi sang waktu
merayap masuk ke sebuah rumah sederhana.
Janah, perempuan paruh baya itu sedang
mengadoni bahan-bahan gorengan dagangannya. Janah harus bergegas sebab jam
dinding sudah menunjukkan pukul 04.30 pagi. Ditinggalkannya adonan bakwan,
beralih ke kukusan pepes tahu. Dengan cekatan, pepes-pepes tahu yang sudah
terbungkus rapi itu, disusun ke dalam langseng. Uap yang subur saat penutup
langseng dibuka menandakan bahwa langseng sudah siap digunakan untuk mengukus.
Janah potret keliatan seorang wanita, Ibu
dari Ayunda dan Dimas itu kokoh menjadi single
parent, semenjak ditinggal suami tercinta kawin lagi. Cerai adalah
kata-kata tabu dan sangat sulit dilakukan bagi umat Katholik, harus melibatkan
Uskup dan Paus untuk dapat dikatakan resmi bercerai. Janah merelakan statusnya
menggantung di udara.
Janah manis dengan tubuh mungil, bukan
mustahil baginya mendapatkan suami lagi. Pasar kaget di mana setiap pagi Janah
mangkal menjajakan dagangannya cukup ramai. Dan tidak sedikit pria-pria
seumuran yang tahu statusnya mencoba menggoda. Tapi sudah tiga tahun pisah rumah
dengan suami, tidak ada tanda-tanda Janah menjalin hubungan dengan pria lagi.
Hatinya sudah bertekad dan fokus untuk membesarkan anak-anak saja.
Alarm handphone berdering. Pukul 05.00. Janah
berjalan ke kamar depan. Perlahan dibukanya kamar Ayunda, gadis 10 tahun itu mengerjap-ngerjapkan matanya.
Lembut Janah mengusap kening anak gadis itu, “ Bangun yuk. Temani mama
menyiapkan sarapan.”
Setetes peluh Janah menetes ke dahi
Ayunda. Mata yang kembali terpejam itu membuka lagi. “Iya Ma…” Janah tersenyum
menghapus peluhnya. Sudah 3 tahun kehidupan seperti ini dijalani. Bukan waktu
yang sebentar, dan Janah semakin mahir. Anak lelakinya Dimas, sudah terbiasa
bangun pagi sendiri. Dimas merasa menjadi kepala keluarga dalam keluarga kecil
ini. Waktu Janah kembali ke dapur, dilhatnya Dimas sedang mengangkat gorengan
pisang yang tadi ditinggal Janah membangunkan Ayunda.
Ya Tuhan, Engkau berikan kecukupan pada
kehidupan kami yang sederhana, dan Engkau berikan anak-anak yang luar biasa. Nikmat yang tidak akan
tergantikan dengan harta manapun. Janah menengadah ke langit-langit rumah. Dan
sebaris air mata luruh mengiring rasa syukur pada Tuhannya.
Sang waktu tersenyum puas menatap Janah.
Lihat betapa aku sudah mampu mengubah bocah kekanak-kanakan yang hanya bisa
menuntut dan menuntut itu menjadi perempuan kuat dan penuh rasa syukur. Butuh
waktu 30 tahun untuk memprosesnya. Melibatkan banyak rasa pahit dalam
pembentukkannya. Sang Waktu mempercepat langkahnya. Melayang ke atas, menumpang
mega. Di bawahnya semilir angin menggoyang pucuk-pucuk dedaunan, melambai
mengucapkan sayonara.
Elisa begitu cantik dengan tahi lalat di
pucuk hidung bangirnya. Matanya bersinar menggambarkan kegairahan dalam
menyambut hari-hari. Alis matanya hitam lebat membentuk payung untuk kedua kelopak mata. Dan bibir itu, ,
seringkali membentuk senyum ajaib yang menyempurnakan keindahan raut wajahnya. Sekali lagi Elisa menatap wajah ayunya di
depan cermin, mendetail setiap bagian sampai ke hal-hal yang kecil…Ah kenapa
juga ada jerawat di bawah bibir? Kembali disapunya bagian itu dengan alas
bedak, berharap jerawat kecil itu mau bersembunyi di bawahnya. Mulutnya
mencerucut dan hidungnya agak mengkerut. Bahkan untuk pose seperti itu Elisa
menjadi makin cantik saja.
Sang waktu tersenyum menatap Elisa,
lihatlah aku sudah mengubah seorang bocah kecil lusuh, kusam, pemalu yang untuk
maju mengerjakan tugas saja harus bersama-sama, menjadi wanita yang cantik dan lebih
percaya diri.
Joni suami Elisa masih asyik memainkan HP
di depan TV yang dibiarkan menyala menyiarkan berita pagi dari stasiun TV
swasta. Anak-anak sudah berangkat ke
sekolah masing-masing. Elisa sudah cantik dan rapi . Jam menunjukkan pukul
06.45. “Mas, aku berangkat duluan ya. Mungkin nanti pulang agak malam. Mau meeting dengan klien.” Elisa menunduk
dan mencium kening Joni yang tidak bergeming dari layar HPnya. Hanya dehem saja yang terdengar lirih. Dan
Elisa sudah terbiasa. Walau tak urung sekilas senyum pasrah tersungging yang
segera digantikannya.
Hari-hari yang sepi, suami pendiam yang
jarang mengajak berkomunikasi. Terlebih sering pulang pagi dengan seribu satu
alasan basi. Sekarang hal itu bukan masalah besar lagi. Elisa tersenyum, sudah
seminggu hari-hari menjadi lebih
berwarna. Perjumpaannya dengan teman SMA, Erns sudah mengubah dunianya 180
derajat.
Berawal dari diterimanya undangan
pertemanan Erns di laman Facebooknya. Elisa mengunjungi laman Facebook Erns,
melihat foto-fotonya. Istri Erns manis berhijab, mereka sudah dikarunia tiga
orang putra yang gagah-gagah. Elisa melihat Erns-Erns kecil di tiap-tiap wajah
juniornya. Bahkan yang paling kecilpun, batita (bawah tiga tahun) seperti
melihat fotokopian sang papanya saja.
Saling
melihat laman masing-masing dirasa tidak mencukupi. Kopi darat sambil makan
siang menjadi kelanjutannya. Di kursi pojok restoran itali dalam sebuah mal,
Elisa bertemu Erns. Jabat tangan yang terjadi seperti mengalirkan energi
listrik antar keduanya. Elisa
terperangah pada sensasi itu. Erns masih segagah dulu, tatapan matanya yang
teduh membuat Elisa betah menatap Erns berlama-lama. Dan herannya Erns seperti
tahu dan sengaja mengulang tatapan teduhnya itu. Kata-kata menjadi tidak
menarik lagi. Berdua mereka saling menatap dan bercengkrama lewat mata.
“ Sudah lama kamu kerja sebagai sekretaris
di sini Lis?” Elisa cepat-cepat menelan potongan pizzanya.
“ Baru dua tahun. Kamu sendiri bagaimana?”
“ Sudah tiga tahun aku merintis usahaku
sendiri. Lebih nyaman daripada bekerja pada orang lain.”
“ Iya memang seperti itu.”
Elisa menumpukkan garpu di atas pisau
pizzanya perlahan. Matanya kembali
menatap wajah Erns yang tengah menatapnya juga. Elisa melemparkan senyum
manis, matanya tak melepaskan wajah
Erns.
Itu awalnya dan seminggu semenjak
pertemuan itu, tak seharipun terlewat tanpa komunikasi lewat WhatsApp, BBM,
maupun telepon. Elisa begitu menikmati hari-harinya. Malam-malam menanti
kepulangan suami yang sunyi berubah menjadi malam-malam penuh canda dan manja.
Dan hari ini Erns mengajaknya keluar makan
siang. Elisa janji akan menemuinya di counter J’co donnuts mal Pondok Indah. Laptop sudah di shutdown. Map-map berisi
surat-surat hari ini sudah ditumpuk rapi. Bolpoint, pensil, stappler sudah di
tempatnya masing-masing. Elisa melirik
jam tangannya. Pukul 11.45. Di cangkingnya tas tangannya kemudian beranjak
meninggalkan ruangan kantor.
Saat menuruni tangga Elisa berpapasan
dengan Heru staff administrasi , “ Her, nanti kalau Mba Rifka datang, bilangin
saya keluar makan siang dan sekalian pulang ya. Ada keperluan keluarga.” Heru
manggut-manggut, “ Oke Mba Lisa.” Rifka adalah manajer Tax and Accounting di perusahaan tempat Elisa bekerja. Ruangan
mereka bersebelahan dan hanya dibatasi sekat kaca. Elisa dan Rifka terbiasa
saling menyapa dan saling memberi tanda dari tempat duduk mereka.
Siang itu mal tak seramai biasanya.
Jalanan lebih lenggang, di setiap toko Elisa melihat pramuwisma saling
mengobrol dengan leluasa. Apakah ini
karena efek tengah bulan atau mulai terasanya kebijakan pengetatan ikat
pinggang oleh pemerintah. Elisa menggelengkan kepalanya.
Sampai di counter J’co, Elisa langsung
mengenali sosok tegar Erns dengan segera. Erns tengah asyik memainkan HP nya.
Dan di meja sudah tersedia dua gelas minuman dan dua potong donut. Dengan tetap
menunduk dan mengetik, Erns berucap,” Silakan duduk Elisa sayang, coffee late
pesanan sudah siap.” Elisa duduk di depan Erns. Di angkatnya gelas kopi, harum
kopi membuat mata Elisa menutup untuk sejenak menikmati. Dan saat ia membuka
mata, ternyata mata teduh itu sedang
menatapnya. Elisa tersenyum membiarkan mata mereka berbicara.
Sang waktu sedang bercanda dengan takdir.
Masing-masing melempar ilmu andalannya. Adalah takdir membawa Elisa bertemu
dengan Erns kembali. Sang Waktu memfasilitasi dengan berbagai kesempatan
pertemuan demi pertemuan. Sebulan berlalu dari sekedar makan siang, berlanjut
jalan-jalan, menonton dan chatting dari
pagi sampai menjelang tidur malam. Selama itu Erns melimpahi Elisa dengan
candaan, pujian, dan perhatian.
“ Elisa, kalau seandainya nanti Tuhan
berkehendak, pastilah kita bisa bersatu. Maukah kau saat itu menjadi istriku?”
Elisa tercekat membaca pesan WA tengah malam Erns. “Aku tahu ini salah. Dan aku
tidak akan menambah kesalahan itu dengan melangkah lebih jauh Lis. Aku
mencintai istriku. Aku juga mencintaimu.”
“Erns sayang, tanpamu hari-hariku sunyi dan
hampa. Engkau mengisi kekosongan hidupku. Menggenggam tanganmu aku menjadi
berani. Tapi kita sudah berkeluarga. Aku mencintai keluargaku dan tak akan
pernah mau menjadi istri keduamu. Aku percaya Tuhan Maha Kuasa, tetapi untuk
kita bersatu butuh suatu keajaiban saja. Jadikan aku temanmu, kita tetap bisa
makan berdua, jalan-jalan, menonton, tapi puaskanlah hasratmu padaku hanya
sebatas menggenggam tanganku saja.”
Elisa menatap layar HPnya. Diam tidak ada
perubahan. Waktu menunjukkan pukul 23.30 WIB. Ketika 30 menit berlalu tanpa
pesan masuk dari Erns, Elisa mulai memejamkan mata. Egoiskan aku tak ingin
kehilangan canda dan manja dari Erns? Tapi aku tak mampu menjanjikan apapun
untuknya. Aih waktu….berbalik arahlah agar aku dapat mengoreksi masa perjumpaanku
dulu dengannya.
Elisa terbangun pukul 01.30. Rupanya Joni
baru sampai. Masih terdengar bunyi mesin mobil dimatikan. Elisa membuka pintu
kamar, berjalan ke depan untuk membuka depan. “ Mas sudah makan? Mau dibuatkan
apa?”
“Tidak perlu. Tidur lagi saja. Aku sudah
makan.” Joni melewati Elisa, yang masih
berdiri dekat pintu. Menaruh tas di ruangan belakang, kemudian kembali ke kursi
depan. HP dicharge dan dibuka kembali.
“Cepatlah mandi dan temani aku sebentar
sebelum tidur.” Elisa merajuk.
“ Iya, baru pulang. Masih panas. “
“AC mobil mati?”
“ Tidak”
“Kenapa panas?”
“ Kamu mancing ribut. Pegang nih langsung
keringetan!” Joni menarik tangan Elisa.
“ Baiklah, aku tunggu di kamar ya.” Elisa
menarik lepas tanggannya.
Dan seperti biasanya Elisa akan sukses tertidur
dengan TV menyala. Malam itu mimpinya dihiasi tatapan teduh Erns yang mengejar
jawab pertanyaannya. “Jadilah istri keduaku Lis. Atas nama cinta aku pasti
dapat berlaku adil untuk kalian berdua. Bidadari-bidadariku.”
Sabtu pagi saat berbelanja di pasar kaget
dekat rumah, Elisa menuju ke penjual gorengan di ujung gang. “Janah, apa kabar?” Elisa menyapa Janah yang
sedang menggoreng bakwan jagung. Dipilihnya beberapa gorengan yang sudah matang
ke dalam kantong plastik.
“Eh Lis, kemana aja? Beda ya orang
kantoran. Jarang turun ke pasar,” jawab Janah sambil terus membalik-balik
gorengannya. “Tahu tidak Oma Ratri dirawat di RS Fatmawati. Kena kanker
payudara dia. Sebentar aku tunjukkan fotonya.” Janah menaruh susuk ke atas
serok di atas baki minyak. Diusap-usapkannya keduatangannya ke celemek.
Kemudian mengeluarkan HP dari kantong bajunya.
“ Nih lihat, sudah sebulan ternyata Oma
dirawat di sana.” Elisa menerima HP Janah.
Ya Tuhan, Oma Ratrikah itu? Begitu kurus,
dengan mulut dan hidung tertutup masker oksigen. Kalau saja Janah tidak memberi
tahu di awal, Elisa merasa tidak akan mengenali sosok tersenyum di balik masker
itu sebagai Oma Ratri.
“Yuk kita pergi tengok dia. Kita ajakin
Yeni, Wilda, dan Retno. Eh tahu tidak kalau Lidia sudah cerai dari suaminya dan
sekarang sedang hamil dengan suami keduanya?” Janah asyik menuturkan semua info
yang sudah masuk ke kepalanya. Elisa kadang tertawa kadang merengut mendengar
cerita Janah. Sudah lama ternyata dia tidak turun ke pasar. Sudah ketinggalan
banyak berita.
Diam-diam Elisa mengagumi Janah dengan
semua kekuatannya. Single parent tanpa
suami katanya juga tidak ada jatah uang bulanan, namun toh Janah tetap bisa
tetap menyekolahkan anak-anaknya. Tentu saja bantuan memang ada dari
saudara-saudara Janah yang mampu. Tetapi sebagai seorang wanita, Elisa sendiri
tidak yakin akan mampu bersikap seperti Janah jika dihadapkan pada persoalan
yang sama. Tulari aku dengan kekuatanmu Janah, begitu batin Elisa.
WA Erns diterima Janah pada siang hari.
Erns mengajak bertemu saat makan siang Senin nanti. Elisa mengiyakan. Dan
karenanya Elisa sibuk menyusun acara. Semoga Bos belum balik dari luar kota.
Semoga Bos memberi ijin pulang cepat untuknya. Tapi alasan apa lagi ya? Satu
kali berdusta, maka akan ada dusta-dusta susulan untuk melengkapinya.
Sang Waktu melambat, Sabtu dan Minggu
terasa lama sekali. Elisa dilanda kebosanan menanti hari menjadi Senin pagi. Ah
sudah rindu rasanya menatap mata teduh itu lagi. Mendengar kata-kata yang
mengayomi langsung dari bibir Erns. Bukan sekedar ketikan di WA atau BBM.
Senin siang, Bos ada di ruangannya, tapi
sebentar lagi akan jalan keluar meeting
dengan pelanggan di luar kantor. “ Elisa, kalau ada telepon, bilang saya sedang
meeting dengan Tuan Hardiman ya,”
ujarnya sambil berjalan meninggalkan ruangannya.
“ Maaf Pak, saya siang ini harus pulang
cepat. Saya merasa kurang sehat,” jawab Elisa sambil menunduk.
“ Ow…kamu sakit? Okelah kamu istirahat
saja dulu di rumah. Kalau perlu ke dokter. Usahakan besok masuk ya. Ada meeting di kantor,” sambung Bos. “ Rifka
kamu handle telpon masuk untuk saya
ya.” Rifka yang kebetulan baru melintas dari toilet manggut-manggut mengiyakan. Elisa meliriknya,
Rifka memanyunkan bibir dan hidung ke arahnya.
“Pisss” Dua jari Elisa membentuk tanda V. Untung Bos sudah berlalu.
Elisa menghembuskan nafas lega.
Makan siang itu, Erns tidak banyak
berkata-kata. Tatapan teduhnya masih sama. Menghipnotis Elisa untuk terus
menatapnya juga. Suap demi suap berlalu dalam diam sampai sendok dan garpu
diletakkan dengan posisi menutup menyilang.
“ Elisa. Aku sudah fikirkan masak-masak
hubungan kita,” Erns memulai kalimatnya. Elisa tersenyum, diam dan terus
menatap Erns. “Aku merasa tidak bisa meneruskan hubungan dengan tidak ada
kepastian. Hidupku dibayang-bayangi rasa tidak tenang.”
Deg. Muka Elisa memucat. Sedapat mungkin
Elisa menahan gejolak-gejolak perasaannya. Perutnya tiba-tiba melilit, dan
dingin mulai menjalar naik dari kaki terus sampai ujung jari jemari tangannya. Di
depannya Erns terlihat menanti-nanti reaksi Elisa. Mata teduhnya memuat banyak
tanya dan kekhawatiran.
“ Maafkan aku Erns. Aku sudah membawa kita
pada situasi semacam ini. Terimakasih untuk semuanya tapi sudah jangan bicara
lagi.” Lirih suara Elisa menggema aneh di telinganya. Itukah suaraku? Elisa
merasa kedua matanya panas. Tidak…tak boleh setetespun jatuh saat ini. Elisa segera
mengakhiri pertemuan makan siang itu tanpa jabat tangan.
“Aku tidak akan mengotori tanganmu dengan
jabat tangan kita lagi Erns. Mungkin bagimu aku hanya kotoran yang akan menajiskan
semua sholat, sedekah, dan zikirmu,” bisik batin Elisa. Sepanjang perjalanan
pulang, di dalam taksi online, Eliska sukses menangis diam. Terkadang supir
taksi melirik dengan tatapan heran. Oh sudahlah apa perdulimu Pak…jalanlah saja
lurus ke depan. Antar aku pulang. Kembalikan aku pada kehidupanku. Tempat
bertapaku dalam diam. Tempat waktu akan menimpaku dengan lebih kejam.
Malam itu, tepat pukul 00.00. Sang Waktu
duduk di kursi depan Eliska. Menatap wajah sendu di depannya. Jangan
khawatirkan lukamu Nak. Aku akan membalutnya dengan selendang maya. Kain
sutrapun tak dapat menandingi kelembutannya. Dinginnya akan menyejukkanmu. Saat
sepi menyergap ingatlah, aku ada. Sepi hanya akan sementara, dan aku lebih
berkuasa.
Elisa tahu Erns di sana tidak akan
terjangkau olehnya. Namun kecintaan membawanya menitip doa pada El Shaddai.
“Ampuni kalau aku mengisi waktu dengan melukai orang-orang yang kucintai dan
bahkan diriku sendiri ya Bapa. Jagalah mereka yang tidak dapat kujaga secara
jasmani di sana. Dan mampukan aku berbuat yang terbaik untuk keluargaku
sebagaimana Yesus sudah mengurbankan diri Nya sendiri untuk menebus dosaku.
Amin.”
Elisa mematikan lampu kamar, menyelimuti
dirinya. Dan mulai terpejam. Saat itu sepasang tangan kokoh membawanya dalam
pelukannya. Elisa berbisik lirih “Terimakasih.” Dan tetes itu kembali mengalir
dalam gelap. Elisa balas memeluk suaminya….
Pamulang, 02 September 2016